Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Warisan budaya ini bahkan telah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009.
Salah satu produsen batik kenamaan di Indonesia adalah PT Dan Liris yang juga membawa nama besar keluarga Tjokrosaputro. Meski sempat hampir gulung tikar, penerusnya, Michelle Tjokrosaputro diwariskan amanah dari sang Ayah untuk menyelamatkan Dan Liris.
Meski batik telah mengakar dalam keluarganya, Michelle juga sempat kewalahan untuk mempertahankan Dan Liris. Tapi tekad dan ketekunan wanita lulusan Jurusan Bisnis dan Komunikasi Amerika University di Paris, Prancis ini berhasil menyelamatkan Dan Liris dari kebangkrutan. Sebab dia juga tahu bagaimana ayahnya, sangat mencintai bisnis tekstil.
Ketangguhan dalam menyelamatkan bisnis keluarga, tidak membuatnya berpangku tangan. Sadar dengan perkembangan mode, Michelle kemudian merintis sebuah brand baru yang diberi mana Bateeq.
Wanita kelahiran Karanganyar, 22 Mei 1980 ini sebenarnya menyukai motif-motif batik, tapi menurutnya model dan warna yang beredar di pasaran terkesan ‘jemu’. Berangkat dari 'ketidaksukaannya' inilah, Michelle tertantang untuk membuat batik lebih disukai berbagai kalangan termasuk mereka yang berjiwa muda. Ibu dari tiga orang anak ini kemudian mengemas Bateeq secara mewah, modern, dan mengikuti tren fashion internasional di dalam setiap koleksinya.
Produksi Bateeq sendiri dimulai sejak tahun 2012 di Solo. Dan setahun kemudian menyusul pembukaan toko Bateeq pertama di Jakarta. Hingga saat ini, Bateeq sudah tersebar hampir di seluruh Indonesia. Dalam kurun waktu dua tahun, 40 outlet Bateeq hadir di Jakarta, Tangerang, Bogor, Bandung, Surabaya, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Cirebon, Bali, Palembang, Medan, Makassar, Riau, Batam, hingga Manado.
Salah satu faktor yang mendukung kesuksesan Bateeq adalah pemilihan warna yang mengikuti tren dunia fashion internasional. Walau begitu, dirinya tetap tidak meninggalkan identitas dari batik itu sendiri dengan menyuguhkan ciri khas tradisional motif-motif batik Yogyakarta dan Solo, dengan menggunakan teknik serta material yang beragam, mulai dari waxing, hingga printing.
“Jadi walaupun kita ngikuti tren internasional, tapi kita terinspirasi dari batik. Misalnya kita ambil pakem atau pattern-rnya dari batik. Sehingga ada kesan misterius yang dihasilkan dari batik produksi Bateeq,” paparnya seperti yang dilansir dari SWA.co.id (5/11).
Semantara itu, strategi unik yang diterapkan Bateeq juga mendukung pertumbuhan bisnisnya adalah dengan menerapkan season dalam produk keluarannya. Sehingga pelanggannya tetap setia dan sekaligus bisa menarik pelanggan baru.
Selain itu kolaborasi dengan perancang busana dimanfaatkan Michelle sebagai cara untuk memperoleh segala pengetahuan mengenai dunia tekstil dan batik. Sebut saja kolaborasi dengan Peggy Hartanto hingga perancang busana asal Jepang, Suzuki Takayu dalam Jakarta Fashion Week 2016 yang diadakan pada Oktober 2015 lalu. Kolaborasi ini memberinya banyak pelajaran, mulai dari proses produksi baru, teknik penggabungan motif batik, hingga model baru.
Berbagi kunci kesuksesannya, Michelle mengaku memiliki dua hal utama yang menjadi pendorongnya. Keduanya adalah fokus dengan apa yang ia kerjakan dan bekerja keras untuk membuat produk terbaik. Selaku Chief Executive Officer Bateeq, kedepannya Michelle menargetkan brand-nya bisa lebih mendunia. Dia berharap Bateeq tidak hanya digunakan di Indonesia namun juga di dunia internasional.
Apakah artikel ini memberkati Anda? Jangan simpan untuk diri Anda sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang belum mengenal Kasih yang Sejati. Mari berbagi dengan orang lain, agar lebih banyak orang yang akan diberkati oleh artikel-artikel di Jawaban.com seperti Anda. Caranya? Klik di sini.